Aku adalah orang Indonesia biasa
Yang bekerja untuk bangsa Indonesia
Dengan cara Indonesia
– Ki Hadjar Dewantara
Ketika berbicara tokoh-tokoh bangsa masa lalu, terkadang kita terbawa pada sisi romantisisme; lebih sentimentil, tak sedikit pula berlebih-lebihan dalam menggambarkan pribadinya.
Dalam serial “Tokoh Teladan Integritas”, kami berupaya untuk menjaga jarak, agar kami memotret lebih “obyektif” meski itu amat sulit. Rentang waktu yang jauh dengan sang tokoh, membuat kami pun sebatas menggali dari sumber-sumber pustaka.Namun, kami berkeyakinan bahwa mereka adalah sosok berintegritas; pikiran, ucapan, hati, dan perilaku mereka seia-sekata dalam mengusung kebajikan dan kebaikan. Terlebih mereka rela mengorbankan diri dan keluarga demi kemerdekaan bangsa Indonesia.Setelah Kapolri ke-5 Jenderal Hoegeng Iman Santoso (1968-1971) dan Perdana Menteri ke-4 (1950-1951) Mohammad Natsir, kali ini kami menyuguhkan potret pribadi Ki Hadjar Dewantara.
BACA:
Membaca kembali penuturan orang-orang yang hidup sezamannya, sosok Ki Hadjar tergambar sebagai pribadi yang penuh integritas. Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa hidupnya ialah pengejawantahan nilai-nilai integritas yang saat ini kita pelajari.
**
AWAL Februari 1955. Kala itu Ki Hadjar Dewantara sedang sakit. Presiden Sukarno menengoknya di Yogyakarta. Dalam kesempatan itu, Sukarno memuji Ki Hadjar sebagai sosok pendorong dan pemimpin bangsa Indonesia.
“Kalau dulu tak ada seorang yang bernama Soewardi Soerjaningrat, yang kemudian menjadi Ki Hadjar Dewantara, maka keadaan pergerakan bangsa Indonesia niscaya tak akan seperti yang kita alami,” ujarnya.
Dalam kesempatan lain, Sukarno selalu menganggap Ki Hadjar sebagai saudara tua, sebagai kangmas, dan sebagai guru. “Saya termasuk pemuda-pemuda yang bahagia dapat maguru kepada orang-orang Indonesia yang besar, maguru kepada Kiai Achmad Dahlan, maguru kepada Dr. E.F.E Douwes Dekker, maguru kepada Cipto Mangunkusumo, maguru kepada RM Soewardi Soerjaningrat yang kemudian bernama Ki Hadjar Dewantara,” tutur Sukarno.Bung Karno ketika menjenguk Ki Hadjar Dewantara di Yogyakarta. Sumber: repro buku “Ki Hadjar Dewantara Ayahku”Melepas identitas ningratSebagai bangsawan Jawa, hidup di Pura Pakualaman Yogyakarta, pada akhirnya Ki Hadjar tak pernah mau memakai identitas ningratnya. Ia adalah cucu dari K.G.P.A.A. Paku Alam III.
Nama “Raden Mas” dibuang selama-lamanya.
Pergantian nama dari Raden Mas Soewardi Soerjaningrat menjadi Ki Hadjar Dewantara adalah penegasan dirinya lahir untuk membela rakyat yang tertindas, untuk lebih dekat dengan rakyat, dan peduli terhadap dunia pendidikan.
Ia menggunakan nama barunya itu enam tahun setelah Tamansiswa berdiri. “Pada 3 Februari 1928 Soewardi Soerjaningrat genap berusia 40 tahun menurut tarikh Jawa (5 windu) dan berganti nama Ki Hadjar Dewantara,” demikian dikutip dari Ki Hadjar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya (Kemendikbud: 2017).
Hadjar artinya pendidik; Dewan: Utusan; tara: tak tertandingi. Jadi maknanya: Ki Hadjar Dewantara adalah Bapak Pendidik utusan rakyat yang tak tertandingi menghadapi kolonialisme.
Bambang Sokawati Dewantara, anak bungsu Ki Hadjar, dalam bukunya Ki Hadjar Dewantara Ayahku (Sinar Harapan: 1989) memiliki pandangan lain soal nama ningrat itu.
Menurut dia, sebagai penganjur persamaan dan demokrasi, bagaimana ayahnya bisa mendekati rakyat yang dicintainya selama ia berpamor ningrat.
Di sisi lain, nama baru itu juga dinilai untuk “menandai atau menyatakan kebebasan dirinya dari pengurusan orangtua, untuk menyatakan kemerdekaan dan kemandiriannya,” tulis Bambang.
Ki Hadjar bersama Dr Tjipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker (Dr. Danudirja Setiabudi) membentuk De Indische Partij pada 25 Desember 1912. Partai ini tak berumur panjang karena pemerintah kolonial murka dengan radikalisme mereka. Ketiganya terkenal sebagai “Tiga Serangkai”. Tujuan dari partai ini ialah merdeka dari Belanda. Mereka menolak penamaan kata “Inlander” untuk penduduk Hindia Belanda berkulit coklat, Melayu, Batak, Sunda, Jawa, Bali, Ambon, Bugis, Makassar, Manado, dan lain-lain.
“Kata Inlander itu bernada menghina, selain salah sepenuhnya,” kata Douwes Dekker seperti ditulis Bambang.
Douwes Dekker melalui tulisan istrinya Harumi Wanasita menuliskan, “Di dalam tubuh Soewardi yang lemah itu bersemayamlah kemauan yang tangguh dan yang selalu ia menangkan manakala ia sudah berniat mencapai sesuatu,” tulisnya.
Sejak kecil pun ia terbiasa mengajak teman-temannya dari kalangan rakyat jelata untuk masuk lingkungan keraton. Ia juga suka berkelahi dengan sinyo-sinyo Belanda yang menghina anak-anak pribumi,
Sederhana sejak lahir
Sederhana adalah hidup Ki Hadjar.
Seluruh hidupnya, meski pernah menjabat sebagai Menteri Pengajaran Indonesia ke-1, ia tak pernah silau dengan harta dan jabatan.
Cerita kesederhanaan Ki Hadjar tergambar sejak kelahirannya.
Ia lahir bertepatan tanggal 2 Puasa 1309 Hijriah atau 2 Mei 1889 Masehi. Kelak tanggal lahirnya menjadi Hari Pendidikan Nasional yang diperingati hingga sekarang.
Ki Hadjar memiliki perawakan kecil, kurus, dan tampak tidak garang. Begitulah sejak ia lahir.
Pangeran Ario Soerjaningrat, ayahnya, yang mengharap-harap anak laki-laki, ternyata merasa kecewa melihat bayi Soewardi. “Betapa tidak? Berat badannya [saat lahir] kurang dari tiga kilogram, badannya kurus, perutnya buncit; lagi pula suaranya terdengar terlalu lembut,” tulis Bambang.
Karena kondisi itu, ayahnya berkelakar menjuluki anaknya “Jemblung” karena perutnya buncit. Tapi, Kiai Soleman, sahabat Pangeran Soerjaningrat, yang memiliki pondok pesantren di daerah Prambanan, justru membela Soewardi kecil.
Ia menamai bayi itu “Trunagati” (truna: pemuda, gati/wigati; penting, berarti). Kiai Soleman memiliki firasat tersendiri dari “tangis bayi yang lembut” itu. Menurutnya, kelak suara bayi itu akan didengar orang dari seluruh negeri. Sementara itu, perut yang buncit atau jemblung itu dimaknai Kiai Soleman bahwa anak itu kelak akan menelan dan mencerna ilmu yang banyak dan memasuki masa dewasanya menjadi pemuda yang penting.
Sejak kelahiran Soewardi itu, ayahnya meniadakan adat feodal Jawa yang royal. Tirakatan dihapus, tiada lagi hadiah untuk para hamba sahaya yang hobi begadang seraya main judi semalam suntuk, tulis Bambang.
Saat itu, Bambang menuliskan, keluarga kakeknya sedang dilanda kesulitan hidup dari suatu masa transisi dan resesi yang panjang. “Mungkin justru keadaan itulah yang menyebabkan Soewardi kemudian tumbuh menjadi sebagaimana watak dan kepribadianya di kemudian hari,” kata Bambang.Ditemani Bung Karno saat akan menerima penghargaan Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Kebudayaan dari UGM pada 19 Desember 1956.Jurnalis pemberani
Ki Hadjar dikenal sebagai jurnalis dan penulis. Ia banyak mengkritik kebijakan-kebijakan Hindia Belanda yang menyengsarakan rakyat.
Ia menulis di surat kabar Kaoem Muda, Oetoesan Hindia, Tjahaja Timoer, dan lain-lain. Tulisan-tulisannya tajam, komunikatif, sekaligus provokatif serta membangkitkan patriotisme.
Tulisannya yang terkenal berjudul Seandainya Aku Seorang Belanda (Als Ik Eens Nederlander Was). Isinya mengritik pemerintah kolonial yang akan menyelenggarakan pesta 100 tahun Belanda terlepas dari penjajahan Prancis. Namun, biaya pesta itu dibebankan pada masyarakat Hindia Belanda dan menarik berbagai pajak. Karangan itu segera meluas ke masyarakat karena diterjemahkan oleh Abdoel Moeis ke dalam bahasa Melayu.
“Pemerintah kolonial Belanda tersinggung dan murka. Akibatnya, pada 1913, Soewardi Soerjaningrat dibuang ke Belanda bersama Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker,” tulis Suparto Rahardjo dalam bukunya Ki Hajar Dewantara Biografi Singkat 1889-1959 (Garasi: 2012).
Kala itu usianya baru 23 tahun.
Peduli pendidikan
Ki Hadjar sangat cinta dengan pendidikan. Ia mengkritik cara pengajaran pemerintah Hindia Belanda. Kritik ini bisa dibaca dalam artikelnya berjudul Kurangnja dan Ketjewanja Onderwijs bagi Ra’jat Kita yang termuat di Wasita Jilid I/5 Edisi Februari 1929.
Menurutnya, sistem pendidikan yang ada tidak dapat mengangkat derajat masyarakat pribumi. Masyarakat pribumi hanya mendapat pendidikan yang sangat rendah, tulis Suprapto Rahardjo.
Dari kondisi itulah, Tamansiswa lahir. Tamansiswa berdiri apda 3 Juli 1922 memiliki pendidikan khas yang bertumpu pada tradisi kepamongan dan pengolahan karakter berbudaya. Para ahli melihat cita-cita pendidikan Taman siswa sama dengan yang diperjuangkan sekolah Shantiniketan yang dibangun Rabindranath Tagore di India, tulis TEMPO lewat artikel Tamansiswa dan Sejarah di Bawah Karpet, 17 Juli 2022.
Selain itu, tulis Suprapto Rahardjo, dasar Tamansiswa juga diilhami oleh metode Montessori dari Italia. Baik Maria Montessori maupun Tagore pernah berkunjung ke Tamansiswa pada masa sebelum Perang Dunia II.
Dalam ajaran pendidikannya, Ki Hadjar mengenalkan rumus Ing Ngarsa Sung Tuladha (di depan memberikan teladan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah memberi semangat), dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dukungan).
Keras tapi tidak kasar
Douwes Dekker menggambarkan sahabatnya sebagai sosok “Kras maar noit grof” artinya keras, tapi tidak pernah kasar.
Ali Sastroamidjojo, mantan Dubes RI untu Amerika Serikat juga anggota Majelis Luhur Tamansiswa, pernah mengira bahwa Ki Hadjar memiliki gaya berkobar-kobar.
“Saya jadi bingung ketika berhadapan dengan seorang pemimpin lemah lembut, halus dalam bahasa dan tingkah lakunya. Seolah-olah perasaan yang berkobar-kobar tadi dipadamkan dengan air sejuk di waktu fajar menyingsing. Hatiku menjadi tenteram, semangatku yang berapi-api beku,” kata Ali ketika bertemu Ki Hadjar pada sekitar 1930-an.Bersama istri saat berada di Medan.Pembuka jalan di Lapangan Ikada
Rapat raksasa bersejarah itu terjadi pada 19 September 1945. Puluhan ribu rakyat berkumpul di Lapangan Ikada—sekarang Monas. Mereka menunggu para pemimpin seperti Sukarno dan jajaran kabinetnya datang.
Namun, ada yang mempertimbangkan agar hati-hati karena tentara Jepang siap menghalau dan menembak rombongan—karena ini kali pertama pemerintah Indonesia menyatakan kemerdekaannya kepada rakyat dan dunia internasional; jangan sampai ada pertumpahan darah.
Di antara keragu-raguan itu, muncul tiga menteri secara sukarela menyatakan diri hendak menjadi pembuka jalan, menembus barikade Jepang. Mereka Achmad Subarjo (Menlu), Iwa Kusumasumantri (Mensos), dan Ki Hadjar Dewantara (Menteri Pengajaran).
Sekretaris Negara kala itu AG Pringgodigdo menyela. “Ingat Ki Hadjar, Ki Hadjar kan sudah tua,” tuturnya seperti ditulis Bambang Sokawati.
“Justru karena itulah, mati pun tak mengapa,” jawab Ki Hadjar.
Bunga Kantil dan kemandirian
Ada satu cerita yang dituturkan oleh Bambang Sokawati, bahwa ayahnya tak suka dengan kembang atau bunga Kantil.
Ini bukan perkara klenik atau mistis. Ki Hadjar justru orang yang berpikir maju, ia sama sekali menolak budaya tahayul yang masih kuat di lingkup keraton.
Ia tak suka kantil karena kata “kantil” dalam bahasa Jawa berarti “lekat, lengket, atau nempel”. Makanya, ia pernah bekata kepada keluarganya, “Kelak kalau aku sudah mati, jangan kalian taburkan bunga kantil di atas makamku,” katanya.
Makna simbolik itu, menurut Bambang, yang ditolak oleh ayahnya. Sebab, selama ini perjuangan Ki Hadjar selalu menekankan prinsip hidup merdeka dan mandiri.
“Karena bunga kantil melambangkan ketergantungan yang bertentangan dengan prinsip hidup merdeka dan mandiri, maka bapak tak menyukai bunga itu,” tutur Bambang.
Ki Hadjar selalu menekankan kepada murid-muridnya agar jangan “kemantil-mantil” (terlalu lengket) kepada dirinya sehingga menjadi pengkultusan individu.
Suatu kali, Ki Hadjar pernah dengan tegas mengatakan, bubarlah Tamansiswa setelah dirinya mati jika para muridnya terlalu mendewa-dewakan dirinya.
Bersahaja sampai akhir hayat
Ki Hadjar menghembuskan napas terakhir pada 26 April 1959. Koran-koran dan majalah akhir bulan itu menulis kepergian sang peletak dasar pendidikan nasional.
Tergambar dalam laporan koran Nasional, Kamis (30 April 1959), ribuan orang berjejal-jejal memberikan penghormatan terakhir. Masa berkabung diputuskan selama sepekan hingga 2 Mei. Rakyat diminta mengibarkan bendera setengah tiang.
Majalah Hidangan menuliskan dalam In Memoriam-nya, “Ki Hadjar Dewantara, sampai saat terakhir tetap sederhana”.
Begitulah, ia adalah pribadi yang konsisten, sosok yang terus berusaha memberi teladan. “Sebagai pejabat negara, ia tak sungkan membeli perabotan bekas dari teman atau pelelangan,” tulis Suprapto Rahardjo.
Rumah Ki Hadjar di Yogyakarta juga didesain untuk menampung masyarakat, terbuka bagi siapa saja. Ia menaruh pesawat telepon miliknya di teras rumah. Alasannya agar bisa dipakai banyak orang. Jika ada telepon untuk tetangganya, Bambang-lah yang selalu mendapat tugas menyampaikan pesan.
Bahkan, ia sendiri berpesan kepada anaknya, Bambang, sepekan sebelum dirinya meninggal. Ia meminta agar anaknya tak usah menulis buku biografinya. Biarkan orang lain yang menulis dan bantulah mereka.
“Tapi, jangan sekali-kali mempengaruhi baik pandangan atau penilaian orang. Setiap orang berhak berbeda pendirian, sikap, dan penilaian tentang bapak. Jangannlah beringas atau berkecil hati kalau ada yang menilai negatif atua mengkritik bapak…” ujar Ki Hadjar.
Ada cerita menarik lain tentang kebersahajaan keluarga Ki Hadjar. Tradisi makan bersama keluarga selalu dilakukan Ki Hadjar. Menunya pun seadanya. Di meja makan itu, ia selalu bercerita kepada istri dan anak-anaknya apa yang dialami hari itu.
Pada Minggu (19 Agustus 1945), di hari ketika dirinya dilantik sebagai Menteri Pengajaran, ia pulang larut malam. Istrinya, Nyi Hadjar, yang awalnya ingin menghidangkan ekstra lauk-pauk harus kecewa karena hari itu di pasar Gondangdia, Jakarta Pusat terjadi insiden sehingga pasar bubar. Mimpi makan enak pun buyar.
Nyi Hadjar pun meminta Bambang agar beli bakmi jika ada tukang bakmi lewat depan rumah. Bambang diberi uang dua gulden.
Datanglah tukang bakmi tok-tok. Bambang segera berlari, sedangkan ayahnya masih asyik bercerita dengan ibunya. Tatkala membeli itu, Ali Sastroamidjojo dan istri juga terlihat memesan, karena rumah keduanya memang berdekatan.
Ketika bakmi datang, Nyi Hadjar pun berkata, “Untuk Yang Mulia Menteri Pengajaran kali ini bakmi boleh dihabiskan.”
Tapi, sang suami malah menyodorkan kepada anaknya yang menungguinya sampai begadang. Bambang pun menuangkan rantang ke piring.
“Ternyata, tertuang pulalah di situ uang 12 gulden yang tadi kucari-cari setengah mati. Barulah teringat olehku bahwa sewaktu berangkat membeli bakmi, aku menaruhnya di dalam rantang dan oleh si tukang bami langsung ditimbuni bakmi,” cerita Bambang.
Melihat itu, Ki Hadjar dan istrinya tertawa.
“Tak apalah. Mungkin memang harus terjadi supaya kita selalu ingat pada peristiwa yang bersejarah ini dan selalu dapat bercerita, bahwa ketika bapak diangkat jadi menteri dalam Kabinet RI yang pertama, kita telah mengadakan syukuran di tengah malam dengan makan bakmi yang dibumbui uang Jepang terakhir yang lecek!” kata Ki Hadjar disambut ketawa keluarga.[]
sumber : https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20231028-jalan-lurus-ki-hajar-dewantara-potret-pribadi-berani-sederhana-berintegritas