KASUS korupsi di dunia olahraga bukan fenomena baru.
Praktik-praktik kecurangan (fraud) dalam olahraga jamak terjadi mulai tidak adilnya wasit, praktik suap pemain atau penyelenggara, skandal pengaturan skor (“Calciopoli” di Liga Seri A Italia pada 2006 menjadi kasus besar di era modern), transfer pemain, hingga manipulasi pajak.
Di Indonesia, pada 1980 terjadi skandal suap pengaturan permainan (match fixing) di Liga PSSI. Kasus ini menyeret klub sepakbola PSP Padang. Sejumlah pemain terima suap, termasuk penjaga gawang, agar “mengalah”.
Kala itu, Jaksa Agung Ali Said sampai menyebut para pelaku suap-menyuap itu sebagai “setan-setan gentayangan”, bahkan Ali Sadikin–saat itu Ketua Umum PSSI–mengancam akan “melakukan hukum rimba untuk melawannya”.
Selang 30 tahun, peristiwa serupa terulang. Akhir 2017, Persatuan Basket Seluruh Indonesia dilanda match fixing yang melibatkan sejumlah pemain dan offisial tim JNE Siliwangi Bandung.
Kasus-kasus kecurangan, bahkan yang benar-benar terbukti masuk kategori korupsi, menjadi ironi dunia olahraga yang menjunjung sportivitas dan kejujuran.
Belakangan tahun, kasus korupsi di sektor olahraga yang terungkap berkaitan pembangunan infrastruktur, seperti stadion, gedung olahraga, atau wisma atau penginapan atlet.
Kasus korupsi seperti itu tak hanya terjadi di Indonesia. Di Jerman, notabene negara maju, kasus korupsi infrastruktur olahraga juga terjadi saat proyek stadion Allianz Arena, kandang klub Bayern Munich dan TSV 1860 Munich. Aparat penegak hukum Jerman menemukan praktik suap sebesar 2,8 juta euro dari perusahaan konstruksi untuk stadion Piala Dunia 2006 itu.
Definisi korupsi olahraga
Korupsi, secara sederhana, ialah “tidak jujur” atau “ilegal”. D. Triesman (2000) mendefinisikan korupsi sebagai “penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi, kelompok dan/atau organisasi”.
Definisi tersebut tepat jika ditujukan untuk kasus korupsi infrastruktur, tapi kurang pas jika membahas korupsi yang dilakukan atlet.
Adapun Ian Senior, konsultan ekonomi Triangle Management Services, dalam bukunya Corruption – The World’s Big C: Cases, Causes, Consequences, Cures (2006) menyebutkan suatu perbuatan disebut korupsi jika memenuhi lima syarat secara bersamaan: (1) memberikan secara sembunyi-sembunyi , (2) menguntungkan penerima suap atau calon pemengaruh, (3) ada tindakan/aksi, (4) menguntungkan pemberi suap, dan (5) penerima suap memiliki otoritas.
Sementara itu, Gorse dan Chadwick, dua profesor dari Universitas Conventry yang fokus isu korupsi sektor olahraga, dalam makalahnya bertajuk Conceptualising corruption in sport: Implications for sponsorship programmes mengartikan korupsi di dunia olahraga, sebagai berikut:
Perbuatan ilegal, tidak bermoral, atau tidak etis yang berupaya secara sengaja merusak hasil pertandingan, sehingga satu orang atau lebih yang terlibat dalam aktivitas tersebut mendapatkan keuntungan materi.”
Korupsi olahraga di Indonesia
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sejak 2010-2019, sebanyak 78 kasus korupsi terjadi di sektor olahraga. Dalam unggahan Korupsi Dana Hibah Keolahragaan (2022), ICW menghitung potensi kerugian negara yang ditimbulkan dari kasus-kasus itu mencapai Rp865 miliar, sedangkan nilai suap sebesar Rp37,6 miliar.
Kasus-kasus ini diantaranya terkait dengan pembangunan wisma atlet, pembangunan stadion, penyuapan dan penyalahgunaan dana hibah keolahragaan. Para aktor dalam kasus ini selain swasta, juga pejabat di kantor Dinas Olahraga, anggota DPRD, pengurus KONI, hingga Menpora.

  • Proyek P3SON Hambalang

Kasus korupsi pembangunan P3SON (Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional) Hambalang pada 2010-2012 merupakan salah satu kasus korupsi terbesar di sektor olahraga yang menyita perhatian publik. Kerugian negara yang ditimbullkan mencapai Rp464,391 miliar.
Kasus ini melibatkan Andi Alfian Mallarangeng, Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu. Ia divonis empa tahun penjara dan denda Rp200 juta subsidair dua bulan kurungan.
Hakim Pengadilan Tipikor pada sidang vonis Senin (18 Juli 2014) menyatakan Andi terbukti memperkaya diri sendiri sebesar Rp2 miliar dan US$550 ribu dolar. Ia menerima uang itu melalui adiknya, Andi Zulkarnain Anwar atau Choel Mallarangeng. Sementara itu, Choel divonis 3,5 tahun penjara, denda Rp250 juta subsidair tiga bulan kurungan. Ia bersalah karena menerima suap—demi memperkaya korporasi dan pribadi—terkait proyek ini dari PT Global Jaya Manunggal, salah satu kontraktor proyek.
Selain mereka, kasus ini juga menjerat pelaku korupsi lain, seperti Anas Urbaningrum yang kala itu sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Ia terbukti menerima gratifikasi Rp2,21 miliar dari PT Adhi Karya saat menjadi anggota DPR. Pada 2014, Anas divonis 8 tahun penjara, lalu diperberat oleh Hakim Artidjo Alkostar menjadi 14 tahun saat ia mengajukan banding di Mahkamah Agung.
Pada 2020, Anas ajukan Peninjauan Kembali (PK) atas vonis hukuman, ia kini dapat korting hukuman menjadi 8 tahun. Namun, hak politiknya tetap dicabut selama 5 tahun dan harus mengembalikan uang korupsi ke negara sebesar Rp57 miliar.
Mereka yang dihukum kasus korupsi ini, antara lain mantan Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora/Pejabat Pembuat Proyek Hambalang Deddy Kusdinar, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin, mantan Direktur PT Dutasari Citralaras Machfud Suroso, mantan Direktur Operasional 1 PT Adhi Karya Teuku Bagus M.Noor, dan mantan Sekretaris Kemenpora Wafid Muharam,

  • Suap dana hibah KONI

Kasus suap terkait pengurusan dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) pada 2018. Kasus ini menjerat Menpora Kabinet Kerja Jokowi saat itu Imam Nahrawi.
Nahrawi divonis 7 tahun penjara, denda Rp400 juta dan subsidair tiga bulan kurungan. Hak politiknya juga dicabut selama lima tahun. Ia dinyatakan bersalah terima suap sebesasr Rp11,5 miliar dan gratifikasi Rp7,65 miliar melalui perantara Miftahul Ulum, asisten pribadi Nahrawi.
Suap diberikan karena untuk mempercepat proposal dukungan KONI Pusat terkait pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga nasional di Asian Games 2018 dan Asian Para Games 2018. Ulum sendiri divonis 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsidair tiga bulan kurungan.
Nama lain yang juga ikut terseret adalah Mantan Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora Mulyana, Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara Umum KONI Johnny E. Awuy, serta dua staf Kemenpora Adhi Purnomo dan Eko Triyanto.
Dampak korupsi di sektor Olahraga
Praktik korupsi yang dilakukan oleh orang-orang tak bermoral dan bertanggung jawab di dunia olahraga, memberikan dampak baik bagi atlet maupun negara. Bahkan, laporan KOMPAS (16 September 2021) bertajuk “Mantan Atlet Diabaikan, Korupsi Justru Diteruskan” menyatakan, terdapat kaitan tak langsung antara pembinaan atlet, kehidupan mantan atlet, dan prestasi olahraga, dengan korupsi di suatu negara.
“Di negara berkembang seperti Indonesia, prestasi olahraga sangat bergantung pada dana pemerintah dan swasta. Jika lembaga pemerintah gagal mengelola anggaran tersebut, otomatis prestasi olahraga turut hancur. Selain itu, ada korelasi antara prestasi olahraga suatu negara dan tingkat korupsi di dalamnya,” demikian dikutip dari KOMPAS.
Selain terjadi kerugian keuangan negara akibat praktik korupsi, dampak lain ialah terbengkalainya pembangunan. Contoh, proyek P3SON di Desa Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bangunan yang sudah terbangun akhirnya tak terpakai—sia-sia.
Jika anggaran itu diprioritaskan pada program-program kesejahteran rakyat, bukankah itu akan lebih bagus?
Mencegah korupsi di sektor olahraga
Pada akhir September 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi bersama 20 delegasi perewakilan negara G20 membahas sejumlah isu korupsi di Forum International Anti-Corruption Working Group (ACWG).
Praktik korupsi di bidang olahraga, salah satunya, menjadi perhatian otoritas peradilan pidana di negara-negara G20, sehingga perlu dirumuskan langkah-langkah preventif yang akan diambil untuk mengatasi hal tersebut.
Dalam forum itu, perwakilan KPK Miranti Martin mengutarakan, perlunya mencermati tata kelola organisasi olahraga dan peraturan mengenai prosedur otonomi olahraga agar tidak terjadi penyelewengan. Karena, “Korupsi dalam olahraga adalah fenomena transnasional yang membutuhkan tindakan terkoordinasi lintas batas untuk mencegah kesalahan, menyelidiki pelanggaran dan mengadili pelanggar,” katanya dikutip dari situsweb kpk.go.id.
Selain itu, ia mendorong agar pemerintah “membentuk undang-undang antikorupsi khusus, seperti undang-undang yang menangani manipulasi persaingan dan perjudian ilegal,” ujarnya
Ia menambahkan: “Pendekatan multi-stakeholder adalah kunci untuk perjuangan efektif melawan korupsi dalam olahraga,” katanya.
Di sisi lain, dalam konteks pembentukan kepribadian, perlu juga setiap pejabat di sektor olahraga juga para atlet untuk menanamkan nilai-nilai integritas dan menolak segala bentuk korupsi.
Mari, bersama-sama memberantas korupsi di sektor olahraga agar tidak menimbulkan kerugian, baik pada negara, atlet, maupun masyarakat.
Dalam memberantas tindak pidana korupsi, masyarakat bisa berperan dengan turut berpartisipasi, yaitu laporkan ke penegak hukum jika mendapati perbuatan korupsi, serta selalu mengingatkan orang-orang di sekitar untuk tidak melakukan praktik koruptif.[]

sumber : https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20231117-menyoroti-korupsi-di-sektor-olahraga