SUAP secara harfiah terkait dengan makan; bisa berupa nasi, roti, atau makanan lain. Jadi, suap adalah sejumput nasi atau roti yang dimasukkan ke mulut.

Namun, seiring waktu, definisi suap pun meluas. Tak lagi berhubungan makan, tapi justru menyangkut perbuatan kriminal. 
Sejak lama, suap sering dianggap sebagai “sesuatu yang lumrah”, bahkan tidak menyalahi aturan. Di Indonesia, hampir-hampir seluruh lini kehidupan bersinggungan dengan suap. Tak memberikan tip kepada petugas demi memperlancar urusan, justru dibilang tidak wajar.
Padahal, pemberi dan penerima suap sama-sama melakukan tindak korupsi. Dalam buku Sosiolog Hukum: Sesuatu Pengantar karya Dr. Baso Madiong disebutkan, suap dianggap sebagai bentuk primitif dan induk korupsi.  
Karena sering dianggap wajar dan berlangsung terus-menerus, dalam kepala setiap orang di masyarakat Indonesia, seolah-olah suap adalah hal wajar. Tengok saja, masih banyak anggapan di masyarakat, bahwa melamar PNS, TNI, atau Polri tidak akan lulus jika tanpa suap.
Karenanya, suap kemudian dikenal dengan uang sogok, pelicin, dan banyak istilah lainnya. Suap bisa dilakukan secara langsung atau melalui perantara. Dalam perkara-perkara suap di Indonesia, jarang transaksi diberikan lewat rekening bank. Seringkali, pemberian dilakukan lewat perantara dan memakai kode atau istilah tertentu.
Dalam perkara suap yang diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi beberapa tahun terakhir, banyak istilah yang dipakai oleh pelaku suap-menyuap. Berikut ini sejumlah istilah suap yang dipakai:

  • Bisyaroh. Istilah ini sebetulnya merujuk honor/gaji bagi guru di pondok pesantren. Muncul dalam kasus jual-beli jabatan di Kementerian Agama pada 2019. Kasus ini menjerat Ketua Umum PPP Muhammad Romahurmuziy yang ditangkap dalam proses OTT KPK pada 15 Maret 2019. Romy, panggilan akrabnya, terima suap secara bertahap senilai Rp 255 juta dari mantan Kakanwil Kemenag Jawa Timur Haris Hasanuddin.Juga, uang dari mantan Kepala Kantor Kemenag Gresik Muafaq Wirahadi sebesar Rp 50 juta. Suap ini dimaksudkan agar Romy bisa mempengaruhi proses seleksi jabatan yang diikuti keduanya di Kemenag. Divonis dua tahun penjara di tingkat Pengadilan Tipikor, Romi banding dan masa hukumannya berkurang menjadi setahun. Dalam kasasi yang diajukan KPK, Mahkamah Agung malah menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
  • Uang kondangan. Istilah ini dipakai pelaku dalam perkara Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution pada 2016. Edy divonis 5,5 tahun penjara karena menerima uang suap Rp 150 juta dari pihak yang berperkara di PN Jakpus. Sang penyuap, yaitu Doddy Aryanto Supeno, pegawai PT Artha Pratama Anugrah kala itu, menyebut uang itu sebagai “uang kondangan” untuk pernikahan anak Edy, Andre Nasution. 
  • Kacang pukul. Istilah unik ini muncul dalam perkara korupsi Gubernur Riau Annas Maamun pada 2014. Gulat Medali Emas Manurung, terdakwa kala itu, membuat sandi suap yang diberikan kepada Annas. Uang Rp2 miliar itu dititipkan Gulat melalui ajudan Annas dengan kode “kacang pukul.” Gulat divonis tiga tahun penjara. Suap untuk memuluskan alih fungsi lahan. Gulat minta Annas memasukkan areal perkebunan sawitnya dalam usulan revisi dari kawasan hutan menjadi bukan hutan. Areal kebun kelapa sawit yang diajukan Gulat berada di Kabupaten Kuantan Singingi seluas 1.188 hektare dan Bagan Sinembah di Kabupaten Rokan Hilir seluas 1.214 ha.
  • Apel Malang, Apel Washington, Pelumas, dan Semangka. Ini begitu populer kala kasus mencuat ke publik pada 2012. Muncul dalam perkara suap pembangunan Wisma Atlet Jakabaring 2010-2011 yang menyeret anggota Badan Anggaran DPR juga Politisi Demokrat kala itu Angelina Sondakh. Dalam kesaksiannya, Mindo Rosalina Manulang, karyawan PT Anak Negeri juga terpidana kasus sama, menuturkan istilah “apel malang” berarti uang rupiah, “apel washington” berarti dolar AS, “pelumas” berarti uang, dan “semangka” artinya permintaan dana. Angelina menerima uang Rp2,5 miliar dan US$1.200.000.

Sumber: Dewas KPKDefinisi suapDalam terminologi hukum, suap didefinisikan sebagai “pemberian atau janji kepada seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri yang berhubungan dengan jabatannya,” demikian dikutip dalam buku Delik-Delik Korupsi (2020) karya Mahrus Ali dan Deni Setya Bagus Yuherawan.
Disebutkan pula, suap disepadankan dengan delik jabatan karena suatu pemberian sesuatu atau janji pasti berhubungan dengan jabatan seseorang. Jabatan di sini dibatasi hanya pada jabatan publik, dan tidak termasuk jabatan di sektor swasta. “Sesuatu” yang dimaksud yaitu bernilai ekonomi.
Di situlah, suap termasuk dalam tindak pidana korupsi.
Undang-Undang Nomor 31 Nomor tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyederhanakan korupsi dalam tujuh kelompok, antara lain menyebabkan kerugian negara, suap menyuap, gratifikasi, benturan kepentingan dalam pengadaan barang/jasa, pemerasan, perbuatan curang, dan penggelapan dalam jabatan.
Dari ketujuh kelompok tersebut, pasal suap menyuap paling banyak dibandingkan kelompok lainnya, antara lain Pasal 5 ayat 1 huruf (a), Pasal 5 ayat 1 huruf (b), Pasal 13, Pasal 5 ayat 2, Pasal 12 huruf (a), Pasal 12 huruf (b), Pasal 12 huruf (c), Pasal 12 huruf (d) Pasal 11, Pasal 6 ayat 1 huruf (a), Pasal 6 ayat 1 huruf (b), dan Pasal 6 ayat 2.
Masing-masing pasal memiliki ciri kekhususan, mulai obyek pelaku hingga ancaman hukuman yang diberikan. Menurut Ali dan Yuherawan, setidaknya ada tujuh karakter dari delik suap dalam UU Pemberantasan Tipikor.
Pertama, bertemunya kehendak pemberi dan penerima untuk melakukan suap. Maka, dalam perkara suap baik pemberi dan penerima suap sama-sama dihukum. Kedua, niat jahat untuk melakukan perbuatan terlarang sebelum suap dilakukan. 
Ketiga, objek suap adalah hadiah atau janji. Keempat, pemberi suap bisa siapa saja, sedangkan penerima suap adalah penyelenggara negara, pegawai negeri, hakim, dan advokat. Kelima, suap terkait jabatan penerima suap, yaitu pegawai negeri atau penyelenggara negara. 
Keenam, dalam delik suap tidak berlaku pembalikan beban pembuktian. Baik pemberi suap maupun penerima suap tidak berkewajiban untuk membuktikan bahwa hadiah atau janji yang diberikan oleh pemberi suap atau penerima suap tidak ada kaitannya dengan jabatan publik penerima suap. Yang berkewajiban untuk membuktikan bahwa hadiah atau janji bukanlah suap tetap jaksa penuntut umum.
Ketujuh, Operasi Tangkap Tangan dapat terjadi pada delik suap. Faktanya, mayoritas OTT KPK menyangkut perkara suap.Ilustrasi.Pegawai negeriTerkait pegawai negeri ini, pada 27 Juli 2023, Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean saat memberikan materi delik korupsi dalam Pelatihan Penguatan Antikorupsi untuk Penyelenggara Negara Berintegritas (PAKU Integritas) menjelaskan hal ini secara gamblang.
Dalam UU Nomor 31/1999 tidak ada penjelasan tentang pegawai negeri. Namun, penjelasan lengkap disebutkan dalam UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Pada Pasal 1 butir 2 disebutkan bahwa pegawai negeri meliputi (a) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam UU Kepegawaian, (b) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP, dan (c) orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah.
Lalu, (d) orang yg menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau, (e) orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Menyangkut perkara korupsi, menurut Tumpak, yang dimaksud pegawai negeri adalah, “Semua orang yang mendapat upah atau gaji yang bersumber dari pendapatan negara atau daerah,” ujarnya.
Penyelenggara negara
Adapun menyangkut penyelenggara negara juga dijelaskan dalam Pasal 2 UU Nomor 28/1999. Yang disebut penyelenggara negara, antara lain (a) pejabat negara pada lembaga tertinggi negara, (b) pejabat negara pada lembaga tinggi negara, (c) menteri, (d) gubernur, dan (e) hakim. 
Selanjutnya, (f) pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan (g) pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Disebutkan oleh Tumpak yang dimaksud pejabat yang memiliki “fungsi strategis” adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktik KKN, meliputi: (a) direksi, komisaris, dan pejabat struktural lain di BUMN/BUMD; (b) pimpinan Bank Indonesia; dan (c) pimpinan perguruan tinggi.
Kemudian, (d) pejabat eselon 1 dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan PNS, Polri, dan Militer; (e) jaksa; (f) penyidik; (g) panitera pengadilan; dan (h) pemimpin dan bendahara proyek.
Pembahasan pasal
Dalam pembahasan pasal ini hanya dibatasi pada Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (a), huruf (b), huruf (c), dan huruf (d). 
Pasal 11
Berdasarkan UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor, pasal ini berbunyi: 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Rumusan korupsi pada Pasal 11, mengutip dari Memahami untuk Melapor: Buku Saku untuk Memahami Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diterbitkan KPK, menyimpulkan, suatu perbuatan termasuk korupsi harus memenuhi unsur-unsur, sebagai berikut:

  • Pegawai negeri atau penyelenggara negara
  • Menerima hadiah atau janji
  • Diketahuinya
  • Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya dan menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya.

Menurut Ali dan Yuherawan, kata “diketahui” menunjukkan, bahwa tindak pidana dalam Pasal 11 ini harus dilakukan dengan kesengajaan (dolus), sedangkan kata “patut diduga” menunjukkan bahwa tindak pidana dalam pasal bisa terjadi dalam bentuk pro parte dolus pro parte culpa (kesengajaan dan kelalaian pelaku). Esensi suap ialah pelanggaran terhadap jabatan publik yang diemban baik pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Contoh:
Bobby, seorang pengusaha ponsel pintar. Saat mengimpor barang dagangannya, ternyata ponsel-ponsel baru itu tertahan di pelabuhan karena surat-surat atau dokumen persyaratan belum dipenuhi oleh Bobby. Demi barangnya cepat keluar dari pelabuhan, ia mendekati pegawai Bea Cukai agar meloloskan barang-barangnya. Ia berjanji memberikan tiga iPhone terbaru kepada pegawai itu. Bobby sadar dan tahu pegawai itu punya atau dianggap punya wewenang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Jika pegawai itu menerima hadiah dari Bobby, artinya dia korupsi.
Sumber: Dewas KPKPasal 12 huruf (a)Berdasarkan UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor, pasal ini berbunyi:  
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Rumusan dalam Pasal 12 huruf (a) ini, perbuatan korupsi harus memenuhi unsur-unsur:

  • Pegawai negeri atau penyelenggara negara
  • Menerima pemberian/hadiah atau janji
  • Diketahui atau patut diduga 
  • Hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Kata “menggerakkan” memiliki maksud pelaku mempengaruhi pegawai negeri atau penyelenggara negara agar kehendak mereka itu terwujud sesuai dengan apa yang diinginkan. Penyuap atau penggerak ini bisa siapa saja, tujuannya: agar pegawai negeri atau penyelenggara negara berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya.
“Pasal 12 huruf (a) ini merupakan delik ‘dalam proses melakukan’ karena pegawai negeri atau penyelenggara negara terlebih dahulu menerima hadiah atau janji…” tulis Ali dan Yuherawan.
Pendek kata, si pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap bersalah karena sogokan atau janji yang diterimanya supaya dirinya melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.
Contoh:Dalam kasus seperti Bobby tersebut, misalnya, pegawai negeri atau penyelenggara di Bea Cukai itu telah menerima hadiah atau janji terlebih dulu sebelum melakukan yaitu meloloskan barang impornya yang tertahan di pelabuhan tersebut.Sumber: Dewas KPKPasal 12 huruf (b)
Berdasarkan UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor, pasal ini berbunyi: 
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Unsur-unsur dalam pasal ini antara lain:

  • Pegawai negeri atau penyelenggara negara
  • Menerima hadiah
  • Diketahui atau patut diduga 
  • Hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

“Tujuan pelaku memberikan hadiah kepada pegawai negeri atau penyelenggara sebagai atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,” tutur Ali dan Yuherawan dalam buku Delik-Delik Korupsi ketika menganalisis pasal tersebut.
Dengan kata lain, pegawai negeri atau penyelenggara tersebut dianggap korupsi karena hadiah atau janji yang diterima karena dirinya telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.
Contoh:
Dalam kasus seperti Bobby tersebut, misalnya, pegawai negeri atau penyelenggara di Bea Cukai itu menerima hadiah atau janji setelah melakukan yaitu meloloskan barang impornya yang tertahan di pelabuhan tersebut.

ilustrasi.Pasal 12 huruf (c)

Berdasarkan UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor, pasal ini berbunyi: 
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar, hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
Dibandingkan dengan pasal-pasal lain, Pasal 12 huruf (c) ini khususkan terkait dengan profesi hakim. Maka, unsur-unsur korupsi harus memenuhi, antara lain

  1. Hakim
  2. Menerima hadiah atau janji
  3. Diketahui atau patut diduga, hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.

Contoh:
Bobby, terdakwa kasus penggelapan barang impor elektronik, menyuap hakim agar dirinya divonis lebih rendah atau sesuai dengan keinginan si Bobby. Di sini, hakim telah melakukan korupsi.
Pasal 12 huruf (d)
Berdasarkan UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor, pasal ini berbunyi: 
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar, seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Pasal 12 huruf (d) ini khususkan terkait dengan profesi advokat. Maka, unsur-unsur korupsi harus memenuhi, antara lain

  1. Advokat yang menghadiri sidang di pengadilan
  2. Menerima hadiah atau janji
  3. Diketahui atau patut diduga, hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

Contoh:
Bobby, terdakwa kasus penggelapan barang impor elektronik, menyuap advokat atau pengacara terdakwa lain yang memiliki kaitan perkara sama. Advokat yang menerima sogokan dari Bobby, lalu memberikan pendapat yang lemah bagi Toni, terdakwa lain, sehingga pendapat itu menguntungkan Bobby. Maka, si advokat telah korupsi.
Setelah memahami tentang suap-menyuap di atas, #KawanAksi, apa pun profesi dan status sosialnya, harus berani menolak segala bentuk godaan suap serta jangan pernah menawarkan suap. Tolak suap, berantas korupsi demi Indonesia sejahtera.[]

sumber : https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20231017-memahami-suap-menyuap-dalam-delik-korupsi