Pengalaman WFH masa Pendemic Covid-19
Dalam kondisi darurat pandemi saat ini, membuat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) mengeluarkan kebijakan strategis tentang kerja dari rumah (WFH) bagi aparatur sipil negara (ASN). Hingga kebijakan tersebut diperpanjang sampai 13 Mei 2020, karena mempertimbangkan kesehatan masyarakat dan kondisi bencana nasional.
Bahkan Kemungkinan (WFH) akan ada perpanjangan mengingat kondisi seperti ini belum memungkinkan untuk bekerja di kantor seperti biasanya.
Kebijakan ini sebelum terjadinya wabah COVID-19, pemerintah sudah mulai mengenalkan konsep kerja dari rumah bagi ASN sebagai arah kerja birokrasi yang lebih produktif dan fleksibel.
WFH bagi ASN pada dasarnya memang dapat dilakukan sepanjang fungsi dan tugas ASN yang dibebankan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dapat dipenuhi. UU tersebut menyatakan bahwa ASN berfungsi sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, dan perekat dan pemersatu bangsa. Oleh karenanya, ASN bertugas untuk melaksanakan kebijakan dan memberikan pelayanan publik, serta mempererat persatuan dan kesatuan NKRI. Fokusnya adalah bagaimana ASN dapat menyelesaikan tugas dan fungsinya dengan sebaik mungkin. Sehingga dari mana ASN menyelesaikannya tidak lagi terlalu relevan. Meskipun tentu pada ASN yang diharuskan secara langsung memberikan pelayakan publik dan berhubungan dengan masyarakat WFH akan menjadi kendala tersendiri. Untuk beberapa kata kunci yang harus dipedomani oleh ASN agar WFH ini berjalan optimal diantaranya :
- ASN harus mempunyai Indikator Kinerja Kunci
- Ketersediaan fasilitas kerja.
- Adaptasi Budaya kerja cepat.
- Insentif yang jelas terutama bagi ASN yang tidak bisa WFH karena karateristik tugasnya dan ASN yang bisa melakukan WFH.
Beberapa studi, bahwa aktivitas WFH memberikan manfaat besar mulai dari peningkatan produktivitas, peningkatan kepuasan kerja, dapat memperkuat keseimbangan antara dunia kerja dan kehidupan pribadi, dapat mengurangi ongkos operasional sampai mereduksi dampak global warming karena minimalisasi penggunaan transportasi. Selain manfaat ada juga beberapa pihak yang merasa para aparatur kurang siap untuk menerapkan kerja dari rumah karena dinilai belum siap seperti jaringan internet yang kurang bagus, fasilitas kerja yang tidak ada, pengenalan aplikasi-aplikasi IT serta tidak adanya perjalanan dinas yang sangat diidam-idamkan oleh ASN sebagai penghasilan tambahan selain gaji.
Meskipun dimulai dengan keterpaksaan dan menemui banyak kendala, namun, pengalaman kerja dari rumah bagi ASN selama sebulan lebih lamanya sejak pertama kali WFH tanggal 30 Maret 2020 membuktikan bahwa WFH ini bisa saja dilaksanakan. Pengalaman ini bisa dijadikan pembelajaran bagi para pemimpin birokrasi dan aparatur di Indonesia untuk menyiapkan transisi kerja konvensional ke kerja digital.
Mengidentifikasi pekerjaan penting dan tidak berguna
Pengalaman beberapa minggu ini dapat menjadi sebuah catatan untuk menidentifikasi kekurangan dan manfaat dari format kerja dari rumah berdasarkan bukti-bukti yang kuat.
Pemerintah, melalui inisiasi Kemenpan-RB yang ditindaklajuti oleh semua lini birokrasi, bisa mulai menyusun daftar pekerjaan di berbagai level dalam setiap unit kerja yang bisa dilakukan dari rumah.
Pada tingkatan operasional, aparatur dapat mengindentifikasi pekerjaan di lingkungan birokrasi yang termasuk pekerjaan yang tidak berguna (bullshit jobs). David Graeber, seorang antropolog dari Amerika menjelaskan bullshit jobs sebagai suatu pekerjaan yang andai dihilangkan tidak akan memberikan dampak sama sekali. Salah satu kategori bullshit jobs menurut Graeber adalah adalah pekerjaan-pekerjaan yang bersifat administratif, tapi sebetulnya tidak begitu diperlukan.
Birokrasi di Indonesia masih didominasi oleh jabatan administratif, sehingga komposisinya tidak ideal dan tercipta disorientasi pekerjaan yang menyebabkan birokrasi lamban. Pada dasarnya, kerja administratif masih diperlukan, namun harus diatur sesuai dengan kebutuhan organisasi dan kualifikasi pegawai.
Kerja digital dapat menjadi faktor pendukung dalam menciptakan setiap pekerjaan berdasarkan keahlian spesifik dalam tubuh birokrasi.
Sejalan dengan rencana pemerintah yang hendak menambah peran tenaga fungsional yang memiliki tugas utama memberikan pelayanan berdasarkan pada keahlian serta keterampilan tertentu yang fungsinya diperlukan dalam tugas-tugas pokok organisasi.
Mengatur pekerjaan rumah dan kantor
Konsep WFH tidak membuat semua pekerjaan harus dibawa ke rumah. Kerja face to face tatap muka tetap menjadi utama di lingkungan birokrasi terkhusus bagi yang fungsinya memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat. Oleh sebab itu, birokrasi pemerintahan perlu melakukan pemetaan berdasarkan jenis, level dan unit kerja yang bisa dilakukan secara jarak jauh.
Pemerintah sudah dapat menyusun rencana schedule kerja. Misalkan, dalam satu bulan kerja, ASN bisa bekerja 1/3 dari rumah dan 2/3 bekerja biasa di kantor dan dilakukan secara rotasi dan sesuai dengan kebutuhan riil di unit kerja. Upaya ini penting untuk memperhitungkan keseimbangan kerja dan hidup para pegawai.
Kemenpan-RB telah mengeluarkan protokol WFH sebagai bentuk kontrol ASN agar praktik WFH tetap fokus pada akuntabilitas. Protokol yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan institusi tersebut berisi berbagai hal terkait kerja dari rumah, termasuk presensi daring hingga rencana kerja tugas kedinasan sesuai dengan sasaran dan target kinerja.
Transisi budaya kerja
Sistem kerja WFH bagi ASN, pemerintah juga harus memperhatikan proses transisi dari budaya kerja yang konvensional. Selama ini birokrasi hanya seputar paradigma yang meyakini disiplin kerja terjadi karena adanya pengawasan langsung sehingga kehadiran fisik sangat diperlukan. Namun, kewajiban selalu berada di balik meja kerja adalah pendisiplinan semu karena hanya menjadi ajang formalitas semata. Sistem kerja seperti itu menurut sosiolog abad 20 asal Jerman Max Weber merupakan upaya untuk menciptakan mesin birokrasi yang rasional, efisien, dan rutin dengan langkah formalisasi aturan dan prosedur dengan membangun hierarki dan membentuk spesialisasi kerja. Namun menurut sosiolog asal Rusia Vadim Kvachev, birokrasi Weberian tidak relevan dengan kerja pemerintahan di abad 21 karena melahirkan kepatuhan yang dikontrol oleh instrumen kekuasaan militer dalam masyarakat.
Pakar administrasi publik dari Amerika Ralph P. Hummel menjelaskan bahwa kini birokrasi perlu dilihat dari perspektif postmodern.
Dalam hal ini, di tengah era disrupsi, bentuk post-birokrasi dari peneliti administrasi publik terkemuka asal Kanada Kenneth Kernaghanm menjadi layak dipertimbangkan.
Post-birokrasi merupakan antitesis dari paradigma birokrasi modern yang terlalu dikendalikan oleh aturan dan struktur yang kaku. Gagasan ini berupaya mempromosikan kebebasan dan birokrasi yang lebih demokratis. Alih-alih fokus pada aturan yang kaku, post-birokrasi fokus pada manusia dengan menggunakan struktur horizontal serta kekuatan yang terdesentralisasi untuk memberdayakan pegawai.
Berbeda dengan birokrasi Weberian yang menekankan prosedur, post-birokrasi justru memberi prioritas pada hasil yang dipertanggungjawabkan.
Potensi ke depan
Pandemi COVID-19 telah mengubah kebiasaan baru bagi masyarakat pada umumnya. semua manusia belajar dan beradaptasi dalam situasi krisis ini, tidak terkecuali bagi lembaga pemerintahan.
Para aparatur dipaksa untuk berlatih bekerja dengan situasi baru. Bekerja dari rumah, melakukan komunikasi virtual melalui aplikasi meeting, saling berbagi laporan dengan cepat, bekerja dalam deadline terbatas sambil menjaga jarak fisik (physical distancing). Proses ini akan menjadi pembelajaran dan membangun kesadaran baru di masa depan. Dalam jangka pendek, pekerjaan kolektif kita saat ini adalah bagaimana kita bisa bekerja sama dalam pencegahan penyebaran COVID-19 agar korban tidak semakin bertambah dan WFH adalah bagian penting dari ikhtiar tersebut.
Semoga semuanya dapat kembali pulih sehingga WFH di masa yang akan datang dilakukan lebih khidmat tanpa perlu adanya wabah.
Editor : yudianto
(SIT)